05 November 2008

idol, the journey (part 6)

Kurang lebih pukul 9 malam aku tiba di rumah. Lengang. Aku masuk ke kamarku, aku buka sepatu dan kutaruh postman bag-ku di tempat tidur. Aku segera mencari keberadaan orangtuaku. Aku pergi ke kamar orangtuaku sambil menenteng Golden Ticket tanda keberhasilanku. Aku lihat Mama sedang berbaring sambil membaca-baca majalah. Berusaha untuk tidak over react, aku mendatangi Mama di tempat tidurnya. Ingin aku bercerita dengan tenang, tapi gejolak ini terlalu besar untuk dibendung. Mama cukup bingung melihat gelagat anaknya yang cukup aneh malam itu. Apalagi ketika aku menunjukkan Golden Ticket itu. Lalu aku jelaskan kepadanya semuanya. Tentang aku yang mengikuti audisi Indonesian Idol diam-diam, tentang aku bertukar shift kerja dengan temanku demi mengikuti audisi ini, dan tetek bengek lainnya. Mamaku tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya juga. Tak lama Bapak datang ke kamar juga, rupanya beliau baru saja dari kamar mandi. Mau tak mau aku menceritakan lagi dari awal hal yang sama yang sudah aku ceritakan pada Mama. Tak apalah, ini kan berita sukacita. kepadanya, dia malah bertanya, “Apa itu?”, katanya. Wajar, karena sebelum aku mengatakan sepatah kata aku langsung menunjukkan Golden Ticket itu.

Aku masih di kamar orangtuaku ketika tiba-tiba handphoneku berbunyi tanda ada panggilan masuk. Aku angkat.

“Selamat malam. Bisa bicara dengan Ronald?”, suara seorang perempuan di seberang sana.

“Ya, saya sendiri. Ini siapa ya?”,tanyaku.

“Oh, saya *&%^$ dari Fremantle, yang audisi Indonesian Idol tadi”, jawabnya. Aku lupa siapa nama Mbak itu.

Ada apa Mbak ya?”, aku penasaran.

“Gini Nald, kamu kan kerja di Rumah Sakit ya?”, sambungnya.

“Iya Mbak, di Rumah Sakit Santo Yusuf. Ada apa ya Mbak?”, tanyaku masih penuh tanda tanya.

“Kita besok pagi mau ngeliput kamu waktu kamu lagi kerja di Rumah Sakit, ama keseharian kamu di rumah juga. Kira-kira boleh ga Nald ya?”, rentet Mbak itu.

“Oh gitu. Kalo di rumah sih bisa banget. Tapi kalo di Rumah Sakit musti izin dulu ke bagian Humas.”, aku menjelaskan.

“Bisa ga Nald kamu yang minta izin ke Rumah Sakit tentang hal ini? Kita sih besok rencana shooting pagi menjelang siang gitu. Kalo bisa kamu kasih kabar ke aku paling lambat jam 10 pagi, biar kita bisa siap-siap.”, rentetnya panjang.

“Ok deh Mbak, kemungkinan besar sih dizinin ama Rumah Sakit. Besok pagi aku ke Rumah Sakit ngurus perizinannya. Besok pagi aku kabarin secepatnya ke Mbak.”, jawabku tak kalah panjang.

“Ok deh, thx banget ya Nald. Selamat malam”, tutupnya.

“Malam.”,sahutku.

Pikirku melayang. “Bisa heboh nih!!”,batinku. Terbayang akan banyak orang yang melihatku ketika di liput esok hari. Orang tua dan gerombolan anak kecil yang memenuhi lorong gang rumahku. Karyawan Rumah Sakit juga para pasien yang sedang berobat di sana. Malu..tapi senang juga,hehehe. Ah, sudahlah. Aku lelah. Aku mau beristirahat, melewati malam ini di alam lelap. Zzzzzz..

Pagi menjelang. Aku lihat jarum jam sudah bertengger di pukul 7. Dengan mlas-malasan, aku berusaha untuk bangun. Sisa hujan semlaam menyisakan dingin yang luar biasa pagi ini, membuatku malas keluar dari selimut yang begitu hangat mememlukku. Tapi aku tak boleh mengikuti keinginan hatiku, aku harus segera bangun, mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit. Pukul 8 pagi aku tiba di Rumah Sakit. Setibanya disana aku langsung menghadap Bossku, aku menceritakan segala sesuatunya, audisiku dan tentang peliputanku ketika bekerja nanti. Untunglah dia mengerti. Beliau turut bergembira akan pencapaianku, meski belum seberapa tapi cukup membanggakan. Dalam sekali telpon saja, beliau langsung mendapatkan persetujuan dari bagian Humas Rumah Sakit tentang peliputan nanti. Berita tentang “keberhasilan kecil” dan tentang peliputan nanti siang dengan begitu cepat menyebar di antara karyawan Rumah Sakit. “Waduh, gw jadi topik hangat nih!!”, batinku geli. Aku pun segera menelpon Mbak *&^%$ tentang hal ini. Jam 10 nanti mereka akan tiba di rumahku.

“Tolong SMS-in alamat rumah kamu ya Nald!!”, serunya.

“Ok Mbak,segera aku SMS. Ntar kalo nyasar-nyasar, telpon aku aja.”, rentetku.

Setelah pamit pada Boss dan teman-temanku, aku segera pulang. Aku harus membereskan rumah dan membeli beberapa makanan kecil untuk mereka nanti.

Jam 10 pagi, orang-orang Fremantle dan RCTI belum juga tiba di rumahku. Aku telpon, katanya mereka agak terlambat karena satu dan lain hal. Pukul 11 mereka akhirnya tiba juga di rumahku. Kurang lebih ada 10 orang yang datang termasuk seorang kameramen. Waduh, deg-degan rasanya, tapi senang juga. Rasa malu dan grogi menyelinap pula terkadang. Malu ketika banyak tetanggaku yang melihat aku dan keluargaku diinterview. Grogi ketika harus berbicara di hadapan kamera. Sorot lampu membuat aku semakin menjadi pusat perhatian. Oh, Tuhan beginikah rasanya?? Apakah hal ini akan banyak terjadi masa depanku? Entahlah, saat ini aku cuma berusaha tenang, dan menjalani shooting ini dengan baik. Mereka merekam gambarku di kamarku, di ruang tamu bersama kedua orang tuaku, di ruang makan dan yang paling heboh adalah ketika aku di shoot sambil berjalan ke depan gang rumahku seolah-olah aku akan berangkat kerja. Hehehe, kaku rasanya gerak tubuhku. Tapi tak apalah, mereka juga mengerti, aku kan memang tidak biasa berhadapan dengan kamera, di tonton banyak orang pula.

Hujan turun ketika aku dan Crew RCTI akan berangkat ke Rumah Sakit. Untunglah hanya sebentar. Pukul setengah 2 siang, aku berangkat bersama Crew RCTI ke Rumah Sakit. Bangga rasanya bisa naik mobil berlogo RCTI itu, tiap orang yang melihat mobil itu pasti langsung mengarahkan pandangannya ke mobil itu. 5 menit kami sudah sampai di Rumah Sakit. Rupanya pihak Humas sudah menanti dari tadi. Crew RCTI yang bertugas pun langsung berbicara dengan pihak Humas Rumah Sakit. Tanpa berpanjang lebar, shooting langsung dimulai. Aku pura-pura bekerja dan mereka merekam gambarku. Karyawan lain banyak yang melihatku, belum lagi pasien dan keluarganya yang cukup heboh pula. “Ada apa ini, siapa yang sedang di shoot ini?”, kurang lebih seperti itu yang aku pikir ada dalam pikiran mereka. Shooting hanya berjalan 15 menit. Mereka langsung pamit pada bagian Humas, karena mereka harus segera kembali ke SABUGA, untuk mengambil gambar dari peserta lain yang hari itu sedang menjalani babak Judging Room seperti yang sudah aku lewati hari sebelumnya.

“Nald, terima kasih ya buat waktunya, sorry lho kalo ganggu waktu kerja kamu!!”, seru Mbak itu.

“Ga apa-apa Mbak, ga ganggu kok. Justru aku seneng. Kalo ada lagi yang bisa aku bantu, kabarin aja ya.”, jawabku.

“Ok deh. Kami balik ke SABUGA dulu ya. Sampai ketemu di Jakarta!! Dag..”

“Dag..”, ujarku sambil melambaikan tangan ke arah mereka.

Ya, sampai bertemu di Jakarta. Bulan depan aku akan bertarung di Jakarta. Babak Eliminasi yang berisi 150 orang bersuara emas yang akan berjuang mati-matian meraih impian mereka menuju Babak Spektakuler. Doa dan kerja keras!! Ya, dua hal itu yang paling penting. Ah, tapi ya sudahlah, hal itu aku simpan dulu. Masih ada waktu sebulan untuk aku mempersiapkan diri. Tiba-tiba lamunanku buyar..aku baru tersadar, pekerjaan telah menungguku di dalam. Aku kerja dulu ya..

|..yang akan kami bawa disini..|

1 Comment:

  1. Anonim said...
    Wow...rupanya sempat beken juga sebelum beken beneran yah??plok...plok...plokkk!
    Tapi ada yah shooting yg di rumah dan RS??ada gak rekamannya???Pengin liat...Hihihi...pasti masih bermuka culun,grogi2...Hahaha....

Post a Comment